Minggu, 14 Agustus 2011

Kewarganegaraan (Warga Negara Indonesia, Asas-asas Kewarganegaraan, Pewarganegaraan, dan Hilangnya Kewarganegaraan)

KEWARGANEGARAAN

1. Penduduk dan Warga Negara
Secara defacto suatu negara dapat dikatakan telah bediri manakala telah memenuhi tiga syarat, yaitu: adanya suatu wilayah tertentu, adanya rakyat atau penduduk yang tetap, dan terdapatnya pemerintahan yang berdaulat. Dari ketiga unsur tersebut, rakyatlah yang merupakan unsur paling essensial, karena ia telah ada sebelum negara berdiri, dan sebaliknya negara pada prinsipnya didirikan untuk mencapai kesejahteraan rakyatnya. Rakyat atau penduduk adalah suatu kelompok manusia yang merupakan suatu kehidupan bersama yang menetap di suatu wilayah yang tertentu (subagyo, dkk, 2002; 20). Tidak semua penduduk yang menetap di suatu wilayah tertentu adalah warga negara, begitu juga sebaliknya tidak semua warga negara selalu menetap pada negara yang bersangkutan. Dalam Pasal 26 ayat (2) UUD NRI 1945 disebutkan bahwa “Penduduk adalah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Artinya, penduduk Indonesia adalah warga negara Indonesia sendiri (sebagian besar), sebagian penduduk yang merupakan warga negara asing, dan sebagian lagi mungkin juga penduduk yang tidak memiliki kewarganegaraan (apatride).

Setiap negara selalu memiliki sejumlah penduduk yang karena telah memenuhi persyaratan-persyaran tertentu berkedudukan sebagai warga negara. Rakyat yang menetap disuatu wilayah tertentu, dalam hubungannya dengan negara disebut warga negara (Muh. Kusnardi dan Harmaily I, 1988;291). Menurut Pasal 1 angka 1 UU Kewarganegaraan, “Warga Negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Warga negara merupakan salah satu unsur hakiki dan unsur pokok suatu negara.

Sebagai pendukung tertib hukum negara, warga negara memiliki hak-hak dan kewajiban terhadap negaranya. Menurut Jimly Assiddiqie, “Warga negara secara sendiri-sendiri merupakan subjek-subjek hukum yang menyandang hak-hak dan sekaligus kewajiban-kewajiban dari dan terhadap negara. Setiap warga negara mempunyai hak-hak yang wajib diakui (recognized) oleh negara dan wajib dihormati (respected), dilindungi (protected), dan difasilitasi (facilitated), serta dipenuhi (fulfilled) oleh negara. Sebaliknya, setiap warga negara juga mempunyai kewajiban-kewajiban kepada negara yang merupakan hak-hak negara yang juga wajib diakui (recognized), dihormati (respected), dan ditaati atau ditunaikan (complied) oleh setiap warga negara” (Jimly A, 2006;132-133). Warga negara juga memiliki hak-hak khusus dan istimewa (previlage), hak mana tidak dimiliki oleh penduduk selain warga negara. Hak-hak, kewajiban-kewajiban, maupun keistimewaan warga negara tersebut misalnya: setiap warga negara berhak atas perlindungan oleh negara, setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, setiap warga negara berhak atas pekerjan dan penghidupan yang layak, setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara (lihat Pasal 27 UUD 1945). Dalam UUPA ditentukan pula bahwa hanya warga negara Indonesia sajalah yang dapat mempunyai Hak Milik atas tanah.

Sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, ihwal kewarganegaraan diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 tentang Warga Negara dan Penduduk Negara. Undang-Undang tersebut kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1947 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 dan diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1947 tentang Memperpanjang Waktu untuk Mengajukan Pernyataan Berhubung dengan Kewargaan Negara Indonesia dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1948 tentang Memperpanjang Waktu Lagi untuk Mengajukan Pernyataan Berhubung dengan Kewargaan Negara Indonesia. Selanjutnya ihwal kewarganegaraan terakhir diatur dengan Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1976 tentang Perubahan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (Penjelasan Umum UU RI Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI).

Warga Negara Indonesia
Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Warga negara Indonesia terdiri dari bangsa Indonesia asli dan bangsa asing, atau bukan bangsa indonesia asli. Lebih jelas lagi dikotomi antara bangsa asli dan bangsa asing (bukan bangsa Indonesia asli) dapat dilihat dalam Penjelasan Pasal 26 UUD 1945. Pasal 26 ayat (1) tersebut menyisakan beberapa pertanyaan mendasar, yaitu apakah bangsa itu dan siapa pula bangsa Indonesia asli itu. Pertanyaan ini amat penting ditelaah untuk menjawab permaslahan, siapa sajakah penduduk Indonesia yang secara otomatis menjadi warga negara Indonesia, dan siapa pula penduduk Indonesia yang harus melewati prosedur hukum untuk mendapatkan kewarganegaraan Indonesia. Kenyataan ini juga akan menimbulkan permasalahan manakala dikaitkan dengan Pasal 6 UUD 1945 (sebelum amandemen), yang mempersyaratkan bahwa “Presiden adalah orang Indonesia asli.

Menurut Ernest Renan, Bangsa atau Nation adalah suatu kesatuan solidaritas, kesatuan yang terdiri dari orang-orang yang yang saling merasa setia kawan satu sama lain. Pendapat Renan tersebut merupakan sebuah koreksi terhadap pandangan yang salah mengenai bangsa yang hanya mengaitkannya dengan kesamaan ras, agama, bahasa, geografi atau hal-hal lain yang sejenis. Soekarno menekankan pada persatuan antara orang dengan tanah air sebagai syarat suatu bangsa. Sementara Moh. Hatta lebih menekankan adanya keinsyafan sebagai suatu persekutuan yang tersusun menjadi satu, percaya atas persamaan nasib dan tujuan. Dengan konstruksi berfikir yang demikian, maka ketentuan dikotomis mengenai bangsa asli dan bukan asli dalam Penjelasan Pasal 26 UUD 1945 menjadi tidak relevan dan bersifat diskriminatif.

Dalam pada itu setelah amandemen UUD 1945 dan berlakunya UU No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI, terdapat konstuksi yuridis baru mengenai bangsa asli tersebut. Menurut Pasal 2 UU Kewarganegaraan RI, “yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Sedangkan dalam penjelasan pasal tersebut dielaborasi lebih lanjut bahwa yang dimaksud dengan “bangsa Indonesia asli” adalah orang Indonesia yang menjadi Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri. Dengan demikian warga negara Indonesia etnisTionghoa, atau keturunan bagsa manapun yang sejak kelahirannya telah berkebangsaan Indonesia dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas permintaan sendiri tidak dapat lagi dikatakan bangsa asing, mereka adalah bangsa Indonesia asli.

Adapun yang dimaksud sebagai warga negara Indonesia adalah (Pasal 4 UU NO. 12 Tahun 2006):

1.setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum Undang-undang no. 12 tahun 2006 berlaku, telah menjadi Warga Negara Indonesia;

2.anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah dan ibu WNI;

3.anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu Warga Negara Asing ( selanjutnya disingkat WNA );

4.anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNA dan ibu WNI;

5.anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang seorang ibu WNI, tetapi ayahnya tidak memiliki kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut;

6.anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya itu seorang WNI;

7.anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dari ibu WNI;

8.anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dari ibu WNA yang diakui oleh seorang ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 tahun atau belum kawin;

9.anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya;

10.anak yang baru lahir yang ditemukan diwilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui;

11.anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya;

12.anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari ayah dan ibu WNI yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan;

13.anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.



Selain itu, tetap diakui pula sebagai Warga Negara Indonesia bagi:

1.anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun dan belum kawin, diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing;

2.anak WNI yang belum berusia 5 tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh warga negara asing berdasarkan penetapan pengadilan.

Kewarganegaraan juga diperoleh bagi anak sebagai berikut:

1.Anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah RI, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia;

2.Anak WNA yang belum berusia 5 tahun yang diangkat anak secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh Warga Negara Indonesia.



2.Asas-asas Kewarganegaraan

Dalam berbagai literatur dan praktek diberbagai negara paling tidak terdapat 3 asas kewarganegaraan. Asas-asas tersebut adalah: asas iussoli, asas ius sanguinis, dan asas campuran. Namun dari ketiga asas tersebut asas ius sanguinis dan iussoli-lah yang merupakan asas utama dalam masalah penentuan kewarganegaraan. Yang dimaksud asas iussoli adalah (asas daerah kelahiran) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan tempat kelahirannya. Seseorang adalah warga negara A karena ia lahir di negara A (yuridiksi negera A). Berdasarkan prinsip ‘ius soli’, seseorang yang dilahirkan di dalam wilayah hukum suatu negara, secara hukum dianggap memiliki status kewarganegaraan dari negara tempat kelahirannya itu. Negara Amerika Serikat dan kebanyakan negara di Eropa termasuk menganut prinsip kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ini, sehingga siapa saja yang dilahirkan di negara-negara tersebut, secara otomatis diakui sebagai warga negara. Oleh karena itu, sering terjadi warganegara Indonesia yang sedang bermukim di negara-negara di luar negeri, misalnya karena sedang mengikuti pendidikan dan sebagainya, melahirkan anak, maka status anaknya diakui oleh Pemerintah Amerika Serikat sebagai warga negara Amerika Serikat, padahal kedua orangtuanya berkewarganegaraan Indonesia. Dengan semakin mudahnya sarana transportasi dan tingginya mobilisasi antar negara, menyebabkan asas ini menjadi bermasalah. Banyak anak-anak yang dilahirkan di negara yang menganut asas ini menjadi terputus hubungannya dengan negara kewarganegaraan orang tuanya. Karena itulah banyak negara telah meninggalkan asas ini.

Berbeda dengan prinsip kelahiran diatas, di beberapa negara, dianut prinsip ‘ius sanguinis’ yaitu asas kewarganegaraan yang mendasarkan diri pada faktor pertalian seseorang dengan status orangtua yang berhubungan darah dengannya. Seorang anak berkewarganegaraan A, karena orang tuanya juga berkewarganegaraan A, dimanapun anak itu dilahirkan. Penggunaan asas ini akan terasa sekali manfatnya pada negara yang saling bertetangga dekat, karana dimanapun seorang anak dilahirkan, maka secara otomatis anak tersebut memiliki kewarganegaraan sesuai dengan kewarganegaraa orang tuanya.

Namun dalam dinamika pergaulan antar bangsa sering terjadi perkawinan campuran yang melibatkan status kewarganegaraan yang berbeda-beda antara pasangan suami dan isteri. Dengan terjadinya perkawinan campuran tersebut kemungkinan besar akan menimbulkan persoalan berkenaan dengan status kewarganegaraan dari anak-anak mereka. Bahkan dalam perkembangannya di kemudian hari, timbul pula kebutuhan baru berdasarkan pengalaman di berbagai negara bahwa kedua asas tersebut harus diubah dengan asas yang lain atau harus diterapkan secara bersamaan untuk mencegah kemungkinan terjadinya keadaan double-citizenship atau dwikewarganegaraan (bipatride) atau sebaliknya sama sekali berstatus tanpa kewarganegaraan (apatride) (Jimly A, 2006;137-138). Dengan mnculnya masalah tersebut, dalam praktik, ada pula negara yang akhirnya menganut asas kedua-duanya, karena pertimbangan lebih menguntungkan bagi kepentingan negara yang bersangkutan. Sistim yang terakhir inilah yang biasa dinamakan sebagai asas campuran. Asas yang dipakai bersifat campuran, sehingga dapat menyebabkan terjadinya apatride atau bipatride. Dalam hal demikian, yang ditoleransi biasanya adalah keadaan bipatride, yaitu keadaan dwi-kewarganegaraan. Sistem ini juga yang sekarang dianut oleh UU No.12 Tahun 2006.

Merupakan hak setiap negara untuk menentukan asas mana yang hendak dipakai dalam kebijakan kewarganegaraannya untuk menentukan siapa warga negara dan siapa yang bukan warga negaranya. Meskipun demikian penggunaan asas yang berbeda antara satu negara dengan negara lainnya kemungkinan akan menimbulkan conflict of law. Misalnya, di negara A dianut asas ius soli sedangkan di negara B menganut asas ius sanguinis, atau sebaliknya. Hal itu tentu akan menimbulkan persoalan bipatride atau dwi-kewarganegaraan, atau sebaliknya menyebabkan terjadinya apatride, yaitu keadaan tanpa kewarganegaraan sama sekali. Sebagai contoh, Mr. X, warga negara A yang menganut asas iussoli melahirkan anak mereka di negara B yang menganut asas ius sanguinis, maka akibatnya anak Mr.X tidak memiliki kewarganegaraan sama sekali (apatride). Ataupun sebaliknya, jika Mr. X adalah warga negara A yang menganut asas ius sanguinis, melahirkan anak mereka di negara B yang menganut asas iussoli, maka akibatnya anak Mr.X akan memiliki double kewarganegaraan, yaitu kewarganegaraan A dan kewarganegaraan B.

Dalam UU No.12 Tahun 2006 dianut beberapa asas, sebagaimana terurai dalam pasal-pasal dan ditegaskan dalam Penjelasan umumnya. Asas-asas tersebut adalah sebagai berikut:

1.Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran;

2.Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

3.Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.

4.Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Dalam UU No.12 Tahun 2006 pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang Kewarganegaraan merupakan suatu pengecualian.

Selain asas tersebut di atas, beberapa asas khusus juga menjadi dasar penyusunan Undang-Undang tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, yaitu sebagai berikut (Penjelasan umum):

1.Asas kepentingan nasional adalah asas yang menentukan bahwa peraturan kewarganegaraan mengutamakan kepentingan nasional Indonesia, yang bertekad mempertahankan kedaulatannya sebagai negara kesatuan yang memiliki cita-cita dan tujuannya sendiri.

2.Asas perlindungan maksimum adalah asas yang menentukan bahwa pemerintah wajib memberikan perlidungan penuh kepada setiap Warga Negara Indonesia dalam keadaan apapun baik di dalam maupun di luar negeri.

3.Asas persamaan di dalam hukum dan pemerintahan adalah asas yang menentukan bahwa setiap Warga Negara Indonesia mendapatkan perlakuan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan.

4.Asas kebenaran substantif adalah prosedur pewarganegaraan seseorang tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga disertai substansi dan syarat-syarat permohonan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

5.Asas nondiskriminatif adalah asas yang tidak membedakan perlakuan dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin dan gender.

6.Asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia adalah asas yang dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara harus menjamin, melindungi, dan memuliakan hak asasi manusia pada umumnya dan hak warga negara pada khususnya.

7.Asas keterbukaan adalah asas yang menentukan bahwa dalam segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga negara harus dilakukan secara terbuka.

8.Asas publisitas adalah asas yang menentukan bahwa seseorang yang memperoleh atau kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia agar masyarakat mengetahuinya.



3.Asas-asas Kewarganegaraan

Dalam berbagai literatur hukum di Indonesia selama ini, biasanya cara memperoleh status kewarganegaraan hanya terdiri atas dua cara, yaitu (i) status kewarganegaraan dengan kelahiran di wilayah hukum Indonesia, atau (ii) dengan cara pewarganegaraan atau naturalisasi (naturalization). Dalam praktek ketatanegaraan di berbagai negara paling tidak terdapat 5 cara untuk memperoleh kewarganegaraan. Di India misalnya telah dikembangkan 5 prakti tersebut sejak tahun 1950, bahkan di Inggris seperti dikemukakan oleh Bradley dan Ewing,134 berdasarkan Act of 1981 yang beberapa kali sudah direvisi atau diubah,135 sebenarnya, terdapat 9 (sembilan) kategori kewarganegaraan yang dikenal di Inggris (Jimly Assiddiqie, 2006;146). Adapun 5 (lima) prosedur atau metode perolehan status kewarganegaraan yang dikenal dalam prakti tersebut adalah:

1)Citizenship by birth;

Adalah cara perolehan kewarganegaraan berdasarkan kelahiran. Siapa saja yang lahir dalam wilayah hukum suatu negara, yang menganut prinsip ‘ius soli’ sebagaimana dikemukakan di atas, maka yang bersangkutan secara langsung mendapatkan status kewarganegaraan, kecuali apabila yang bersangkutan ternyata menolak atau mengajukan.

2)Citizenship by descent;

Adalah cara perolehan kewarganegaraan berdasarkan keturunan, di mana seseorang yang lahir di luar wilayah suatu negara dianggap sebagai warga negara karena keturunan, apabila pada waktu yang bersangkutan dilahirkan, kedua orang tuanya adalah warga negara dari negara tersebut. Asas yang dipakai di sini adalah ius sanguinis, dan hukum kewarganegaraan Indonesia pada pokoknya menganut asas ini.

3)Citizenship by naturalisation;

Adalah pewarganegaraan orang asing melalui permohonan menjadi warga negara setelah memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan.

4)Citizenship by registration;

Adalah perolehan kewarganegaraan bagi mereka yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu dianggap cukup dilakukan melalui prosedur administrasi pendaftaran yang lebih sederhana dibandingkan dengan metode naturalisasi yang lebih rumit. Misalnya, keluarga Indonesia yang berada di Amerika Serikat yang menganut prinsi ‘ius soli’, melahirkan anak, maka menurut hukum Amerika Serikat anak tersebut memperoleh status sebagai warga negara AS. Akan tetapi, jika orangtuanya menghendaki anaknya tetap berkewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya cukup melalui registrasi saja.

5)Citizenship by incorporation of territo

yaitu proses pewarganegaraan karena terjadinya perluasan wilayah negara. Misalnya, ketika Timor Timur menjadi wilayah negara Republik Indonesia, maka proses pewarganegaraan warga Timor Timur itu dilakukan melalui prosedur yang khusus ini.

Dalam buku Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara II, Jimly Assiddiqie menyatakan bahwa cara perolehan kewarganegaraan dapat terjadi melalui tiga cara, yaitu (i) citizenship by birth, (ii) citizenship by naturalization, dan (iii) citizenship by registration. Hal ini juga dapat ditemukan dalam RUU KewargaNegaraan Republik Indonesia yang saat ini telah disetujui dalam pembahasan di DPR (Jimly Assiddiqie, 2006;146). Proses perolehan kewarganegaraan melalui proses registrasi ini hendaknya dikemudian dari dapat lebih dikembangkan untuk mengatasi rumitnya prosedur yang harus ditempuh oleh orang asing memiliki kekhususan, misalnya seorang warga negara yang karena beberapa hal harus kehilangan kewarganegaraanya. Dalam kondisi tersebut seharusnya prosedur untuk memperoleh kewarganegaraanya kembali dapat dilakukan dengan prosedur yang lebih mudah bila dibandingkan dengan naturalisasi dari orang asing.

Menurut Pasal 9 UU Kewerganegaraan RIpermohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon jika memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a.telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin;

b.pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima ) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh puluh) tahun tidak berturut-turut;

c.sehat jasmani dan rohani;

d.dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

e.tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih;

f.jika dengan memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia, tidak menjadi berkewarganegaraan ganda;

g.mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap; dan

h.membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara.

Permohonan pewarganegaraan diajukan di Indonesia oleh pemohon secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai cukup kepada Presiden melalui Menteri.

Di samping perolehan kewarganegaraan tersebut, seorang warga negara juga memiliki kemungkinan kehilangan kewarganegaraannya. Terdapat tiga kemungkinan cara kehilangan kewarganegaraan tersebut, yaitu (Jimly Assiddiqie, 2006;151):

1.Renunciation, yaitu tindakan sukarela seseorang untuk menanggalkan salah satu dari dua atau lebih status kewarganegaraan yang diperolehnya dari dua negara atau lebih.

2.Termination, yaitu penghentian status kewarga-Negaraan sebagai tindakan hukum, karena yang bersangkutan memperoleh kewarganegaraan dari negara lain.

3.Deprivation, yaitu suatu penghentian secara paksa, pencabutan, atau pemecatan dari status kewarganegaraan berdasarkan perintah pejabat yang berwenang karena terbukti adanya kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan dalam cara perolehan status kewarganegaraan atau apabila orang yang bersangkutan terbukti tidak setia atau berkhianat kepada negara dan undang-undang dasar.



Menurut ketentuan Pasal 23 UU Kewarganegaraan disebutkan bahwa seorang WNI kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan:

1)memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri;

2)tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu;

3)dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh Presiden atas permohonannya sendiri, yang bersangkutan sudah berusia 18 tahun atau sudah kawin, bertempat tinggal di luarnegeri, dan dengan dinyatakan hilang kewarganegaraan RI tidak menjadi tanpa kewarganegaraan;

4)masuk kedalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden;(tidak berlaku bagi mereka yang mengikuti program pendidikan dinegara lain yang mengharuskan wajib militer);

5)secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai peraturan perundang-undangan hanya dapat dijabat oleh WNI;

6)secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut;

7)tidak diwajibkan tetapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang besifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing;

8)mempunyai paspor atau surat bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negaralain atas namanya; atau

9)bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia selama 5 (lima) tahun terus menerus bukan dalam rangka dinas negara, tanpa alasan yang sah dan dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi WNI sebelum jangka waktu 5 tahun itu berakhir, dan setiap 5 tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernyataan ingin tetap menjadi WNI kepada Perwakilan RI yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal Perwakilan RI tersebut telah memberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan, sepanjang yang bersangkutan tidak menjadi tanpa kewarganegaraan.



Kehilangan kewarganegaraan Indonesia dapat terjadi pula akibat perkawinan dikarenakan bekerjanya hukum kewarganegaraan negara pasangannya tersebut. Bagi mereka, jika ingin tetap berkewarganegaraan Indonesia, dapat mengajukan pernyataan tertulis kepada Pejabat atau Perwakilan RI kecuali berakibat berkewarganegaraan ganda.

Seseorang yang kehilangan kewarganegaraan RI dapat memperoleh kembali kewarganegaraannya melalui proses pewarganegaraan. Khusus bagi mereka yang kehilangan kewarganegaraan RI akibat perkawinan atau karena tinggal lebih dari 5 tahun secara terus menerus di luar negeri, dapat memperoleh status WNI melalui proses memperoleh kembali kewarganegaraan tersendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar