Minggu, 14 Agustus 2011

Konstituante

Konstituante adalah lembaga negara Indonesia yang ditugaskan untuk membentuk Undang-Undang Dasar atau konstitusi baru untuk menggantikan UUDS 1950. Pembentukan UUD baru ini diamanatkan dalam Pasal 134 UUDS 1950.

Pembentukan
Konstituante beranggotakan 550 orang berdasarkan hasil Pemilu 1955.

Pembubaran
Sampai tahun 1959, Konstituante belum berhasil membentuk UUD baru. Pada saat bersamaann, Presiden Soekarno menyampaikan konsepsinya tentang Demokrasi Terpimpin.

Sejak itu diadakanlah pemungutan suara untuk menentukan Indonesia kembali ke UUD 1945. Dari 3 pemungutan suara yang dilakukan, sebenarnya mayoritas anggota menginginkan kembali ke UUD 1945, namun terbentur dengan jumlah yang tidak mencapai 2/3 suara keseluruhan.

Setelah voting ketiga, serempak para fraksi memutuskan tidak akan lagi mengikuti sidang Konstituante setelah reses 3 Juli 1959. Keadaan gawat inilah yang menyebabkan Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang mengakhiri riwayat lembaga ini.

DPRS (DEWAN PERWAKILAN RAKYAT SEMENTARA)

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT SEMENTARA (1950-1956)
Pada tanggal 15 Agustus 1950, DPR dan Senat RIS menyetujui Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia (UUDS NKRI, UU No. 7/1850, LN No. 56/1950). UUDS ini merupakan adopsi dari UUD RIS yang mengalami sedikit perubahan, terutama yang berkaitan dengan perubahan bentuk negara dari negara serikat ke negara kesatuan. Pada tanggal yang sama, DPR dan Senat RIS mengadakan rapat di mana dibacakan piagam pernyataan terbentuknya NKRI yang bertujuan :

1. Pembubaran secara resmi negara RIS yang berbentuk federasi;
2. Pembentukan NKRI yang meliputi seluruh daerah Indonesia dengan UUDS yang mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950.

Mr. SARTONO
Ketua
Mr. A.M. TAMBUNAN
Wakil Ketua I
ARUDJI KARTAWINATA
Wakil Ketua II
Mr. TADJUDIN NOOR
Wakil Ketua III

Keanggotaan DPRS
Sesuai isi Pasal 77 UUDS, ditetapkan jumlah anggota DPRS adalah 236 orang, yaitu 148 anggota dari DPR-RIS, 29 anggota dari Senat RIS, 46 anggota dari Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, dan 13 anggota dari Dewan Pertimbangan Agung.

Fraksi di DPRS (menurut catatan tahun 1954) :
1. Masjumi 43 orang
2. PNI 42 orang
3. PIR-Hazairin 19 orang 22 orang
4. PIR-Wongso 3 orang
5. PKI 17 orang
6. PSI 15 orang
7. PRN 13 orang
8. Persatuan Progresif 10 orang
9. Demokrat 9 orang
10. Partai Katolik 9 orang
11. NU 8 orang
12. Parindra 7 orang
13. Partai Buruh 6 orang
14. Parkindo 5 orang
15. Partai Murba 4 orang
16. PSII 4 orang
17. SKI 4 orang
18. SOBSI 2 orang
19. BTI 1 orang
20. GPI 1 orang
21. Perti 1 orang
22. Tidak berpartai 11 orang


Kedudukan, Tugas dan Wewenang DPRS

* Kedudukan dan Tugas DPRS
DPR-RIS dan Senat bersama-sama dengan pemerintah melaksanakan pembuatan perundang-undangan. Selain itu, dalam pasal 113-116 UUDS ditetapkan bahwa DPR mempunyai hak menetapkan anggaran negara. Seterusnya dalam Pasal 83 ayat (2) UUDS ditetapkan bahwa para menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri. Ini berarti DPR berhak dan berkewajiban senantiasa mengawasi segala perbuatan pemerintah.

* Hak-hak dan Kewajiban DPRS
a. Hak Amandemen
DPR berhak mengadakan perubahan-perubahan usul UU yang dimajukan pemerintah kepadanya.
b. Hak Menanya dan Hak Interpelasi
DPR mempunyai hak menanya dan hak memperoleh penerangan dari menteri-menteri, yang pemberiannya dianggap tidak berlawanan dengan kepentingan umum RI.
c. Hak Angket
DPR mempunyai hak menyelidiki (enquete) menurut aturan-aturan yang ditetapkan UU.
d. Hak Kekebalan (imunitet)
Ketua, anggota DPR dan menteri-menteri tidak dapat dituntut di muka pengadilan karena apa yang dikemukakan dalam rapat atau surat kepada majelis, kecuali jika mereka mengumumkan apa yang dikemukakan dalam rapat tertutup dengan syarat supaya dirahasiakan.
e. Forum Privelegiatum
Ketua, wakil ketua, dan anggota DPR diadili dalam tingkat pertama dan tertinggi oleh MA, pun sesudah mereka berhenti, berhubung dengan kejahatan dan pelanggaran lain yang ditentukan dengan UU dan yang dilakukan dalam masa pekerjaannya, kecuali jika ditetapkan lain dengan UU.
f. Hak mengeluarkan suara.

Hubungan DPRS dengan pemerintah
Sama halnya dengan UUD RIS, UUDS juga menganut sistem pemerintahan parlementer. DPRS dapat memaksa kabinet atau masing-masing menteri meletakkan jabatannya. Namun berbeda dengan ketentuan dalam UUD RIS, UUDS memasukkan pula ketentuan bahwa presiden dapat membubarkan DPRS, kalau DPRS dianggapnya tidak mewakili kehendak rakyat lagi.

Hasil-hasil pekerjaan DPRS
1. Menyelesaikan 167 uu dari 237 buah RUU
2. 11 kali pembicaraan tentang keterangan pemerintah
3. 82 buah mosi/resolusi.
4. 24 usul interpelasi.
5. 2 hak budget.

Sistem Ketatanegaraan RI menurut UUDS 1950

Konstitusi RIS berakhir pada tanggal 17 agustus 1950. Bentuk Negara serikat tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia. Diawali oleh negara bagian Jawa Timur, Negara RIS berubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konstitusi yang digunakannya ialah UUDS 1950.
Menurut UUDS 1950 bentuk negara Indonesia ialah kesatuan. Sedangkan bentuk pemerintahannya adalah Republik. Adapun sistem pemerintahannya menganut sistem kabinet parlementer.
UUDS 1950 menetapkan bahwa kedaulatan Republik Indonesia adalah di tangan rakyat dan dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR.
Terdapat lima perlengkapan alat negara menurut UUDS 1950.
a. Presiden dan wakil presiden
b. Menteri-menteri
c. DPR
d. Mahkamah Agung
e. Dewan Pengawas Keuangan

Hak Veto

Hak veto adalah hak untuk membatalkan keputusan, ketetapan, rancangan peraturan dan undang-undang atau resolusi. Hak veto biasanya melekat pada salah satu lembaga tinggi negara atau pada dewan keamanan pada lembaga PBB.

Di negara adikuasa seperti amerika serikat, Presiden memiliki hak untuk memveto suatu rancangan undang-undang yang dapat merugikan jalannya pemerintahan. Presiden dapat memveto Rancangan Undang-undang (RUU) yang diajukan oleh DPR AS, Senat AS dan Kongres AS sekalipun jika itu menyangkut keselamatan jalannya pemerintahan. Hal ini diperoleh untuk mengimbangi besarnya kekuasaan lembaga legislatif AS.

Hak Veto dimiliki oleh Negara Negara Anggota Tetap Dewan keamanan PBB yang saat ini dimiliki oleh Amerika Serikat, Rusia (dulu Uni Soviet), Republik Rakyat Cina menggantikan Republik China (Taiwan) pada tahun 1979, Inggris dan Perancis.

Pada saat ini opini yang berkembang di media media internasional menyebutkan keberadaan lima negara anggota tetap dan hak veto ditinjau kembali karena perkembangan dunia yang semakin kompleks serta sering dianggap membuat berlarut larutnya masalah internasional yang membawa akibat pada masalah kemanusiaan akibat digunakannya hak ini oleh negara negara besar yang dianggap membawa kepentingannya sendiri.

Karena keberadaanya merupakan warisan Perang Dunia II yang diambil dari negara negara kuat pemenang perang, banyak suara suara dari tokoh tokoh internasional agar PBB dirombak atau direformasi agar dapat mengakomodasi perkembangan dunia internasional khususnya negara negara dunia ketiga. Diantara tokoh tokoh yang menyarankan perlunya reformasi pada PBB khususnya Dewan Keamanan diantaranya adalah Presiden Sukarno pada tahun 1960-an kemudian Dr Mahathir Mohammad.

Dewan Keamanan PBB

Dewan Keamanan PBB adalah badan terkuat di PBB. Tugasnya adalah menjaga perdamaian dan keamanan antar negara.

Sedang badan PBB lainnya hanya dapat memberikan rekomendasi kepada para anggota, Dewan Keamanan mempunyai kekuatan untuk mengambil keputusan yang harus dilaksanakan para anggota di bawah Piagam PBB.

Dewan Keamanan mengadakan pertemuan pertamanya pada 17 Januari 1946 di Church House, London dan keputusan yang mereka tetapkan disebut Resolusi Dewan Keamanan PBB.

Dewan ini mempunyai lima anggota tetap. Mereka aslinya adalah kekuatan yang menjadi pemenang Perang Dunia II:
-Republik Cina
-Perancis
-Uni Soviet
-Britania Raya
-Amerika Serikat

Republik China dikeluarkan pada 1971 dan digantikan oleh Republik Rakyat Cina. Setelah Uni Soviet pecah, Rusia masuk menggantikannya.

Dengan itu, anggota tetapnya kini adalah:
-Republik Rakyat Cina
-Perancis
-Rusia
-Britania Raya
-Amerika Serikat

Kelima anggota tersebut adalah negara-negara yang boleh mempunyai senjata nuklir di bawah Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir.

Sepuluh anggota lainnya dipilih oleh Sidang Umum PBB untuk masa bakti 2 tahun yang dimulai 1 Januari, dengan lima dari mereka diganti setiap tahunnya.

Anggota dewan keamanan yang dipilih untuk saat ini adalah:
1 Januari 2008 - 31 Desember 2009
-Negara Blok regional Duta besar
-Burkina Faso Afrika Michel Kafando
-Kosta Rika Amerika Latin dan Karibia Jorge Urbina
-Kroasia Eropa Timur Neven Jurica
-Libya Afrika (Arab) Jadallah Azzuz at-Talhi
-Vietnam Asia LĂȘ Luong Minh


1 Januari 2009 - 31 Desember 2010
-Negara Blok regional Duta besar
-Austria Eropa Barat dan Lainnya Thomas Mayr-Harting
-Jepang Asia Yukio Takasu
-Meksiko Amerika Latin dan Karibia Claude Heller
-Turki Eropa Barat dan Lainnya Baki Ilkin
-Uganda Afrika Ruhakana Rugunda

Peran seorang Presiden Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mencakup penerapan agenda, memimpin pertemuan-pertemuannya dan mengawasi situasi krisis. Seorang Presiden berhak untuk mengeluarkan pernyataan presidensiil (atas hasil konsensus antar anggota) dan catatan-catatan,[1][2] yang digunakan untuk membuat pernyataan keinginan dimana selanjutnya dilaksanakan oleh Dewan Keamanan. Posisi presidensiil berganti setiap bulannya antara anggota Dewan Keamanan berdasarkan urutan alfabet nama (dalam bahasa Inggris), untuk bulan Oktober 2009, posisi ini dipegang oleh Vietnam.

Dalam hal mempertahankan perdamaian dan keamanan internasional diserahkan kepada dewan keamanan, dengan syarat; semua tindakan dewan keamanan tersebut harus selaras dengan tujuan dan azas-azas PBB, tugas dan kewajiban dewan keamanan dapat dibagi atas beberapa golongan, yaitu :

Menyelesaikan perselisihan dengan cara-cara damai, yaitu dengan cara yang didasarkan atas; persetujuan sukarela atau paksaan hukum dalam menjalankan persetujuan.
Mengambil tindakan-tindakan terhadap ancaman perdamaian dan perbuatan yang berarti penyerangan.

Sedangkan fungsi Dewan Keamanan sebagai berikut:
-Memelihara perdamaian dan keamanan internasionaal selaras dengan azas-azas dan tujuan PBB.
-Menyelidiki tiap-tiap persengketaan atau situasi yang dapat menimbulkan pergeseran internasional
-Mengusulkan metode-metode untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang demikian atau syarat penyelesaian.
-Merumuskan rencana-rencana untuk menetapkan suatu sistem mengatur persenjataan
-Menentukan adanya suatu ancaman terhadap perdamaian atau tindakan agresi dan mengusulkan tindakan apa yang harus diambil
-Menyerukan untuk mengadakan sanksi-sanksi ekonomi dan tindakan lain yang bukan perang untuk mencegah atau menghentikan agresor
-Mengadakan aksi militer terhadap seorang agresor
-Mengusulkan pemasukan anggota-anggota baru dan syarat-syarat dengan negara-negara mana yang dapat menjadi pihak dalam setatus mahkamah internasional
-Melaksanakan fungsi-fungsi perwakilan PBB di daerah “strategis”.
-Mengusulkan kepada majelis umum pengangkatan seorang sekretaris jendral, dan bersama–sama dengan majelis umum, pengangkatan para hakim dari mahkamah internasional
-Menyampaikan laporan tahunan kepada majelis umum

Dalam menjalankan tugasnya, Dewan Keamanan dibantu badan-badan dan program khusus seperti :
-UNIFIL : Pasukan sementara PBB di Libanon
-UNIIMOG : Pasukan peninjau militer di Iran-Irak
-UNTAC : Pasukan sementara di Kamboja

Manfaat Kerjasama dan Perjanjian Internasional bagi Bangsa Indonesia

Manfaat Kerja Sama Internasional Bagi Indonesia

a. Masalah politik dan keamanan Indonesia dapat diselesaikan dalam Lembaga Internasional.
Misalnya, saat Agresi Militer Belanda tanggal 21 Juli 1947, wakil-wakil India dan Australia mengajukan usul agar masalah Indonesia dibicarakan dalam Dewan Keamanan PBB, kemudian PBB sebagai perantara antara Indonesia-Belanda membentuk Komisi Tiga Negara. Dengan dibentuknya KTN , akhirnya Indonesia– belanda melakukan perundingan di kapal Amerika yaitu kapal Renville.

b. Melalui kerja sama Internasional ( PBB ) , Lembaga Internasional tersebut berperan sebagai pihak penengah dan sebagai pihak yang menghentikan perselisihan antar negara.
Misalnya, pada Agresi Militer Belanda yang kedua PBB mengeluarkan resolusi agar Indonesia – Belanda:
- menghentikan saling menyerang
- membebaskan segala tawanan
- berunding lagi atas dasar persetujuan Linggarjati dan Renville
- pemerintah RI dikembalikan ke Yogyakarta

Selain itu Dewan Keamanan PBB juga membantu mengadakan perdamaian secepat-cepatnya, yaitu menetapkan tanggal, waktu, serta syarat untuk mengadakan KMB.

c. Masalah wilayah pemerintahan Indonesia dapat diselesaikan dengan adanya PBB.
Misalnya, Irian Barat dikembalikan kepada Indonesia dari tangan Belanda pada tahun 1962.

d. Dengan adanya kerja sama Internasional ( PBB ) dapat melahirkan dokumen-dokumen yang bermanfaat bagi kehidupan kenegaraan Indonesia terutama dalam penegakan HAM, misalnya:
- Universal Declaration of Human Right, 10 Desember 1948
- Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Kultural, tahun 1966
- Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan politik, tahun 1966.

e. Dengan kerja sama Internasional yang terwujud dalam organisasi Internasional di bawah PBB masalah politik, sosial, budaya, ekonomi, maupun hukum dapat terselesaikan , antara lain :
- OPEC ( Organitation of Petroleum Exporting Country )
- CGI ( Consultative Group of Indonesia )
- GNB ( Gerakan Non Blok
- NATO ( North Atlantic Treaty Organitation )
- OIC ( Organitation of the Islamic Conference )

Manfaat Perjanjian Internasional
Dengan adanya Perjanjian Internasional , Indonesia dapat mengatasi masalah wilayah kedaulatan.
Misalnya, setelah sidang hukum laut di Geneva tahun 1958 dapat menghasilkan beberapa konvensi :
- Convention on the territorial sea and the contiguous zone, 
Konvensi ini berkaitan dengan kedaulatan teritorial. Sehingga dengan konvensi ini Indonesia belum dapat mewujudkan kesatuan wilayah
- Convention on the high sea
Konvensi ini berkaitan dengan kedaulatan atas sumber alam, begitu juga konvensi yang ketiga.
- Convention on finishing and conservation of the living resources of the high sea.
Sedangkan konvensi yang lain diratifikasi Indonesia dengan UU No. 19 tahun 1981. Namun, karena permasalahan reservating, akhirnya PBB menolak untuk mendeposit instrument of ratification. Konsekuensinya, Indonesia hanya menjadi anggota sah dari satu konvensi saja (Convention on the high sea).

Walaupun demikian, Indonesia tetap dapat menerapkan ketentuan konvensi tersebut. Akhirnya Konvensi tersebut dijadikan dasar oleh Indonesia untuk membagi wilayah sumber alam di landas kontinen dengan negara-negara tetangga. Yaitu dengan mengukurnya dari titik-titik terluar pulau-pulau Indonesia.
Dengan konvensi tersebut Indonesia dapat menanamkan asas teritorial Negara Kepulauan melalui konsepsi kewilayahan sumber daya.

Selain itu perjuangan pengakuan atas prinsip negara kapulauan dilakukan dalam Konvensi Hukum Laut 1982. Yang hasilnya:
- Pengakuan atas batas 12 mil laut sebagai laut teritorial negara pantai dan negara kepulauan
- Pengakuan batas 200 mil laut sebagai zona ekonomi eksklusif
- Pengakuan hak negara tak berpantai untuk ikut memanfaatkan sumber daya alam dan kekayaan lautan.

Sejarah Keberhasilan Pertama Diplomasi RI Pasca Kemerdekaan 1945

Secara resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Tetapi proklamasi kemerdekaan yang dibacakan di Jl. Pegangsaan Timur 56 tersebut tidak menjamin pengakuan dari pihak penjajah Belanda. Jadi kapankah sebenarnya Belanda mengakui kedaulatan RI secara formal ?

Membaca sejarah perjuangan dan upaya merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda terlihat bahwa perjuangan tidak hanya dilakukan di medan tempur tetapi juga dilakukan di meja-meja perundingan yang dilakukan para diplomat Indonesia.

Di medan pertempuran, setelah pernyataan proklamasi kemerdekaan, Pemerintah Belanda yang membonceng tentara sekutu, justru mencoba mengambil alih kontrol kekuasaan di bekas jajahannya dengan mengirimkan lebih banyak pasukan untuk menyerang Indonesia. Untuk itu tercatat setidaknya terjadi dua kali agresi selama kurun waktu 1945-1949.

Tentu saja kekuatan pasukan penjajahan Belanda ini harus menghadapi perlawanan sengit dari tentara dan masyarakat Indonesia. Sementara itu, sejalan dengan perlawanan militer, secara bersamaan dilakukan pula serangkaian upaya diplomasi, dimana Indonesia membawa masalah invasi Belanda ke Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dan mendorong Belanda untuk berunding.

Di PBB, dengan disponsori Uni Soviet, permasalahan yang dijaukan Indonesia dibicarakan di Dewan Keamanan PBB. Selanjutnya pada tangga 10 Februari 1946 berlangsunglah perundingan resmi pertama kalinya antara pejabat Indonesia dan perwakilan Belanda dengan pimpinan Sir Archibald Clark Kerr.

Perundingan selanjutnya dilakukan atas perantara Kantor Jasa Baik pimpinan Lord Killearn dari Inggris. Delegasi Indonesia dipimpin Sutan Sjahrir dengan anggota Mohammad Roem, Susanto Tirtoprodjo dan A.K Gani dan sementara delegasi Belanda dipimpin oleh Prof. Ir. Schermeron dengan anggota Max Van Poll, F de Boer dan H.J Van Mook. Mereka bertemu di Linggarjati, Jawa barat pada tanggal 11-13 November 1946.

Setelah melalui perundingan yang ketat, Indonesia dan Belanda akhrnya menyepakati hal-hal sebagai berikut:

1. Kedua belah pihak akan membangun negara federasi yang akan disebut sebagai Negara Bersatu Indonesia (United States of Indonesia).
2. Kedua belah terus bekerjasama dan membentuk serikat Indonesia-Belanda
3. Pemerintah Belanda mengakui kedaulatan RI atas Jawa, Sumatra dan Madura.

Ketika Perjanjian Linggarjati ini akhirnya ditandatangan pada 25 maret 1947 oleh Perdana Menteri RI Sutan Syahrir dan Gubernur Jenderal Van H.J Mook, secara hukum dapat dinyatakan bahwa inilah pengakuran resmi pertama kali Pemerintah Belanda terhadap kedaulatan RI. Meskipun tentu saja isi perjanjian ini tidak memuaskan karena hanya memberikan pengakuan kedaualtanan kepada Jawa, Sumatera dan Madura.

Namun dari sisi positifnya, kita bisa menilai bahwa inilah keberhasilan diplomasi pertama Indonesia dalam memperjuangkanm kedaualatan RI di meja perundingan. Perjanjian ini dapat dikatakan titik awal dari hilangnya pijakan Pemerintah Belanda di Hindia Belanda. Dengan lepasnya Jawa, Sumatera dan Madura, masuknya wilayah-wilayah lain kedalam pangkuan Negara NKRI hanya lah tinggal menunggu waktu lewat perundingan-perundingan berikutnya. Merdeka !!!

Kewarganegaraan (Warga Negara Indonesia, Asas-asas Kewarganegaraan, Pewarganegaraan, dan Hilangnya Kewarganegaraan)

KEWARGANEGARAAN

1. Penduduk dan Warga Negara
Secara defacto suatu negara dapat dikatakan telah bediri manakala telah memenuhi tiga syarat, yaitu: adanya suatu wilayah tertentu, adanya rakyat atau penduduk yang tetap, dan terdapatnya pemerintahan yang berdaulat. Dari ketiga unsur tersebut, rakyatlah yang merupakan unsur paling essensial, karena ia telah ada sebelum negara berdiri, dan sebaliknya negara pada prinsipnya didirikan untuk mencapai kesejahteraan rakyatnya. Rakyat atau penduduk adalah suatu kelompok manusia yang merupakan suatu kehidupan bersama yang menetap di suatu wilayah yang tertentu (subagyo, dkk, 2002; 20). Tidak semua penduduk yang menetap di suatu wilayah tertentu adalah warga negara, begitu juga sebaliknya tidak semua warga negara selalu menetap pada negara yang bersangkutan. Dalam Pasal 26 ayat (2) UUD NRI 1945 disebutkan bahwa “Penduduk adalah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Artinya, penduduk Indonesia adalah warga negara Indonesia sendiri (sebagian besar), sebagian penduduk yang merupakan warga negara asing, dan sebagian lagi mungkin juga penduduk yang tidak memiliki kewarganegaraan (apatride).

Setiap negara selalu memiliki sejumlah penduduk yang karena telah memenuhi persyaratan-persyaran tertentu berkedudukan sebagai warga negara. Rakyat yang menetap disuatu wilayah tertentu, dalam hubungannya dengan negara disebut warga negara (Muh. Kusnardi dan Harmaily I, 1988;291). Menurut Pasal 1 angka 1 UU Kewarganegaraan, “Warga Negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Warga negara merupakan salah satu unsur hakiki dan unsur pokok suatu negara.

Sebagai pendukung tertib hukum negara, warga negara memiliki hak-hak dan kewajiban terhadap negaranya. Menurut Jimly Assiddiqie, “Warga negara secara sendiri-sendiri merupakan subjek-subjek hukum yang menyandang hak-hak dan sekaligus kewajiban-kewajiban dari dan terhadap negara. Setiap warga negara mempunyai hak-hak yang wajib diakui (recognized) oleh negara dan wajib dihormati (respected), dilindungi (protected), dan difasilitasi (facilitated), serta dipenuhi (fulfilled) oleh negara. Sebaliknya, setiap warga negara juga mempunyai kewajiban-kewajiban kepada negara yang merupakan hak-hak negara yang juga wajib diakui (recognized), dihormati (respected), dan ditaati atau ditunaikan (complied) oleh setiap warga negara” (Jimly A, 2006;132-133). Warga negara juga memiliki hak-hak khusus dan istimewa (previlage), hak mana tidak dimiliki oleh penduduk selain warga negara. Hak-hak, kewajiban-kewajiban, maupun keistimewaan warga negara tersebut misalnya: setiap warga negara berhak atas perlindungan oleh negara, setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, setiap warga negara berhak atas pekerjan dan penghidupan yang layak, setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara (lihat Pasal 27 UUD 1945). Dalam UUPA ditentukan pula bahwa hanya warga negara Indonesia sajalah yang dapat mempunyai Hak Milik atas tanah.

Sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, ihwal kewarganegaraan diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 tentang Warga Negara dan Penduduk Negara. Undang-Undang tersebut kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1947 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 dan diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1947 tentang Memperpanjang Waktu untuk Mengajukan Pernyataan Berhubung dengan Kewargaan Negara Indonesia dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1948 tentang Memperpanjang Waktu Lagi untuk Mengajukan Pernyataan Berhubung dengan Kewargaan Negara Indonesia. Selanjutnya ihwal kewarganegaraan terakhir diatur dengan Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1976 tentang Perubahan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (Penjelasan Umum UU RI Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI).

Warga Negara Indonesia
Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Warga negara Indonesia terdiri dari bangsa Indonesia asli dan bangsa asing, atau bukan bangsa indonesia asli. Lebih jelas lagi dikotomi antara bangsa asli dan bangsa asing (bukan bangsa Indonesia asli) dapat dilihat dalam Penjelasan Pasal 26 UUD 1945. Pasal 26 ayat (1) tersebut menyisakan beberapa pertanyaan mendasar, yaitu apakah bangsa itu dan siapa pula bangsa Indonesia asli itu. Pertanyaan ini amat penting ditelaah untuk menjawab permaslahan, siapa sajakah penduduk Indonesia yang secara otomatis menjadi warga negara Indonesia, dan siapa pula penduduk Indonesia yang harus melewati prosedur hukum untuk mendapatkan kewarganegaraan Indonesia. Kenyataan ini juga akan menimbulkan permasalahan manakala dikaitkan dengan Pasal 6 UUD 1945 (sebelum amandemen), yang mempersyaratkan bahwa “Presiden adalah orang Indonesia asli.

Menurut Ernest Renan, Bangsa atau Nation adalah suatu kesatuan solidaritas, kesatuan yang terdiri dari orang-orang yang yang saling merasa setia kawan satu sama lain. Pendapat Renan tersebut merupakan sebuah koreksi terhadap pandangan yang salah mengenai bangsa yang hanya mengaitkannya dengan kesamaan ras, agama, bahasa, geografi atau hal-hal lain yang sejenis. Soekarno menekankan pada persatuan antara orang dengan tanah air sebagai syarat suatu bangsa. Sementara Moh. Hatta lebih menekankan adanya keinsyafan sebagai suatu persekutuan yang tersusun menjadi satu, percaya atas persamaan nasib dan tujuan. Dengan konstruksi berfikir yang demikian, maka ketentuan dikotomis mengenai bangsa asli dan bukan asli dalam Penjelasan Pasal 26 UUD 1945 menjadi tidak relevan dan bersifat diskriminatif.

Dalam pada itu setelah amandemen UUD 1945 dan berlakunya UU No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI, terdapat konstuksi yuridis baru mengenai bangsa asli tersebut. Menurut Pasal 2 UU Kewarganegaraan RI, “yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Sedangkan dalam penjelasan pasal tersebut dielaborasi lebih lanjut bahwa yang dimaksud dengan “bangsa Indonesia asli” adalah orang Indonesia yang menjadi Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri. Dengan demikian warga negara Indonesia etnisTionghoa, atau keturunan bagsa manapun yang sejak kelahirannya telah berkebangsaan Indonesia dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas permintaan sendiri tidak dapat lagi dikatakan bangsa asing, mereka adalah bangsa Indonesia asli.

Adapun yang dimaksud sebagai warga negara Indonesia adalah (Pasal 4 UU NO. 12 Tahun 2006):

1.setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum Undang-undang no. 12 tahun 2006 berlaku, telah menjadi Warga Negara Indonesia;

2.anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah dan ibu WNI;

3.anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu Warga Negara Asing ( selanjutnya disingkat WNA );

4.anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNA dan ibu WNI;

5.anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang seorang ibu WNI, tetapi ayahnya tidak memiliki kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut;

6.anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya itu seorang WNI;

7.anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dari ibu WNI;

8.anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dari ibu WNA yang diakui oleh seorang ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 tahun atau belum kawin;

9.anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya;

10.anak yang baru lahir yang ditemukan diwilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui;

11.anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya;

12.anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari ayah dan ibu WNI yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan;

13.anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.



Selain itu, tetap diakui pula sebagai Warga Negara Indonesia bagi:

1.anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun dan belum kawin, diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing;

2.anak WNI yang belum berusia 5 tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh warga negara asing berdasarkan penetapan pengadilan.

Kewarganegaraan juga diperoleh bagi anak sebagai berikut:

1.Anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah RI, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia;

2.Anak WNA yang belum berusia 5 tahun yang diangkat anak secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh Warga Negara Indonesia.



2.Asas-asas Kewarganegaraan

Dalam berbagai literatur dan praktek diberbagai negara paling tidak terdapat 3 asas kewarganegaraan. Asas-asas tersebut adalah: asas iussoli, asas ius sanguinis, dan asas campuran. Namun dari ketiga asas tersebut asas ius sanguinis dan iussoli-lah yang merupakan asas utama dalam masalah penentuan kewarganegaraan. Yang dimaksud asas iussoli adalah (asas daerah kelahiran) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan tempat kelahirannya. Seseorang adalah warga negara A karena ia lahir di negara A (yuridiksi negera A). Berdasarkan prinsip ‘ius soli’, seseorang yang dilahirkan di dalam wilayah hukum suatu negara, secara hukum dianggap memiliki status kewarganegaraan dari negara tempat kelahirannya itu. Negara Amerika Serikat dan kebanyakan negara di Eropa termasuk menganut prinsip kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ini, sehingga siapa saja yang dilahirkan di negara-negara tersebut, secara otomatis diakui sebagai warga negara. Oleh karena itu, sering terjadi warganegara Indonesia yang sedang bermukim di negara-negara di luar negeri, misalnya karena sedang mengikuti pendidikan dan sebagainya, melahirkan anak, maka status anaknya diakui oleh Pemerintah Amerika Serikat sebagai warga negara Amerika Serikat, padahal kedua orangtuanya berkewarganegaraan Indonesia. Dengan semakin mudahnya sarana transportasi dan tingginya mobilisasi antar negara, menyebabkan asas ini menjadi bermasalah. Banyak anak-anak yang dilahirkan di negara yang menganut asas ini menjadi terputus hubungannya dengan negara kewarganegaraan orang tuanya. Karena itulah banyak negara telah meninggalkan asas ini.

Berbeda dengan prinsip kelahiran diatas, di beberapa negara, dianut prinsip ‘ius sanguinis’ yaitu asas kewarganegaraan yang mendasarkan diri pada faktor pertalian seseorang dengan status orangtua yang berhubungan darah dengannya. Seorang anak berkewarganegaraan A, karena orang tuanya juga berkewarganegaraan A, dimanapun anak itu dilahirkan. Penggunaan asas ini akan terasa sekali manfatnya pada negara yang saling bertetangga dekat, karana dimanapun seorang anak dilahirkan, maka secara otomatis anak tersebut memiliki kewarganegaraan sesuai dengan kewarganegaraa orang tuanya.

Namun dalam dinamika pergaulan antar bangsa sering terjadi perkawinan campuran yang melibatkan status kewarganegaraan yang berbeda-beda antara pasangan suami dan isteri. Dengan terjadinya perkawinan campuran tersebut kemungkinan besar akan menimbulkan persoalan berkenaan dengan status kewarganegaraan dari anak-anak mereka. Bahkan dalam perkembangannya di kemudian hari, timbul pula kebutuhan baru berdasarkan pengalaman di berbagai negara bahwa kedua asas tersebut harus diubah dengan asas yang lain atau harus diterapkan secara bersamaan untuk mencegah kemungkinan terjadinya keadaan double-citizenship atau dwikewarganegaraan (bipatride) atau sebaliknya sama sekali berstatus tanpa kewarganegaraan (apatride) (Jimly A, 2006;137-138). Dengan mnculnya masalah tersebut, dalam praktik, ada pula negara yang akhirnya menganut asas kedua-duanya, karena pertimbangan lebih menguntungkan bagi kepentingan negara yang bersangkutan. Sistim yang terakhir inilah yang biasa dinamakan sebagai asas campuran. Asas yang dipakai bersifat campuran, sehingga dapat menyebabkan terjadinya apatride atau bipatride. Dalam hal demikian, yang ditoleransi biasanya adalah keadaan bipatride, yaitu keadaan dwi-kewarganegaraan. Sistem ini juga yang sekarang dianut oleh UU No.12 Tahun 2006.

Merupakan hak setiap negara untuk menentukan asas mana yang hendak dipakai dalam kebijakan kewarganegaraannya untuk menentukan siapa warga negara dan siapa yang bukan warga negaranya. Meskipun demikian penggunaan asas yang berbeda antara satu negara dengan negara lainnya kemungkinan akan menimbulkan conflict of law. Misalnya, di negara A dianut asas ius soli sedangkan di negara B menganut asas ius sanguinis, atau sebaliknya. Hal itu tentu akan menimbulkan persoalan bipatride atau dwi-kewarganegaraan, atau sebaliknya menyebabkan terjadinya apatride, yaitu keadaan tanpa kewarganegaraan sama sekali. Sebagai contoh, Mr. X, warga negara A yang menganut asas iussoli melahirkan anak mereka di negara B yang menganut asas ius sanguinis, maka akibatnya anak Mr.X tidak memiliki kewarganegaraan sama sekali (apatride). Ataupun sebaliknya, jika Mr. X adalah warga negara A yang menganut asas ius sanguinis, melahirkan anak mereka di negara B yang menganut asas iussoli, maka akibatnya anak Mr.X akan memiliki double kewarganegaraan, yaitu kewarganegaraan A dan kewarganegaraan B.

Dalam UU No.12 Tahun 2006 dianut beberapa asas, sebagaimana terurai dalam pasal-pasal dan ditegaskan dalam Penjelasan umumnya. Asas-asas tersebut adalah sebagai berikut:

1.Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran;

2.Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

3.Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.

4.Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Dalam UU No.12 Tahun 2006 pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang Kewarganegaraan merupakan suatu pengecualian.

Selain asas tersebut di atas, beberapa asas khusus juga menjadi dasar penyusunan Undang-Undang tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, yaitu sebagai berikut (Penjelasan umum):

1.Asas kepentingan nasional adalah asas yang menentukan bahwa peraturan kewarganegaraan mengutamakan kepentingan nasional Indonesia, yang bertekad mempertahankan kedaulatannya sebagai negara kesatuan yang memiliki cita-cita dan tujuannya sendiri.

2.Asas perlindungan maksimum adalah asas yang menentukan bahwa pemerintah wajib memberikan perlidungan penuh kepada setiap Warga Negara Indonesia dalam keadaan apapun baik di dalam maupun di luar negeri.

3.Asas persamaan di dalam hukum dan pemerintahan adalah asas yang menentukan bahwa setiap Warga Negara Indonesia mendapatkan perlakuan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan.

4.Asas kebenaran substantif adalah prosedur pewarganegaraan seseorang tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga disertai substansi dan syarat-syarat permohonan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

5.Asas nondiskriminatif adalah asas yang tidak membedakan perlakuan dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin dan gender.

6.Asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia adalah asas yang dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara harus menjamin, melindungi, dan memuliakan hak asasi manusia pada umumnya dan hak warga negara pada khususnya.

7.Asas keterbukaan adalah asas yang menentukan bahwa dalam segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga negara harus dilakukan secara terbuka.

8.Asas publisitas adalah asas yang menentukan bahwa seseorang yang memperoleh atau kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia agar masyarakat mengetahuinya.



3.Asas-asas Kewarganegaraan

Dalam berbagai literatur hukum di Indonesia selama ini, biasanya cara memperoleh status kewarganegaraan hanya terdiri atas dua cara, yaitu (i) status kewarganegaraan dengan kelahiran di wilayah hukum Indonesia, atau (ii) dengan cara pewarganegaraan atau naturalisasi (naturalization). Dalam praktek ketatanegaraan di berbagai negara paling tidak terdapat 5 cara untuk memperoleh kewarganegaraan. Di India misalnya telah dikembangkan 5 prakti tersebut sejak tahun 1950, bahkan di Inggris seperti dikemukakan oleh Bradley dan Ewing,134 berdasarkan Act of 1981 yang beberapa kali sudah direvisi atau diubah,135 sebenarnya, terdapat 9 (sembilan) kategori kewarganegaraan yang dikenal di Inggris (Jimly Assiddiqie, 2006;146). Adapun 5 (lima) prosedur atau metode perolehan status kewarganegaraan yang dikenal dalam prakti tersebut adalah:

1)Citizenship by birth;

Adalah cara perolehan kewarganegaraan berdasarkan kelahiran. Siapa saja yang lahir dalam wilayah hukum suatu negara, yang menganut prinsip ‘ius soli’ sebagaimana dikemukakan di atas, maka yang bersangkutan secara langsung mendapatkan status kewarganegaraan, kecuali apabila yang bersangkutan ternyata menolak atau mengajukan.

2)Citizenship by descent;

Adalah cara perolehan kewarganegaraan berdasarkan keturunan, di mana seseorang yang lahir di luar wilayah suatu negara dianggap sebagai warga negara karena keturunan, apabila pada waktu yang bersangkutan dilahirkan, kedua orang tuanya adalah warga negara dari negara tersebut. Asas yang dipakai di sini adalah ius sanguinis, dan hukum kewarganegaraan Indonesia pada pokoknya menganut asas ini.

3)Citizenship by naturalisation;

Adalah pewarganegaraan orang asing melalui permohonan menjadi warga negara setelah memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan.

4)Citizenship by registration;

Adalah perolehan kewarganegaraan bagi mereka yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu dianggap cukup dilakukan melalui prosedur administrasi pendaftaran yang lebih sederhana dibandingkan dengan metode naturalisasi yang lebih rumit. Misalnya, keluarga Indonesia yang berada di Amerika Serikat yang menganut prinsi ‘ius soli’, melahirkan anak, maka menurut hukum Amerika Serikat anak tersebut memperoleh status sebagai warga negara AS. Akan tetapi, jika orangtuanya menghendaki anaknya tetap berkewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya cukup melalui registrasi saja.

5)Citizenship by incorporation of territo

yaitu proses pewarganegaraan karena terjadinya perluasan wilayah negara. Misalnya, ketika Timor Timur menjadi wilayah negara Republik Indonesia, maka proses pewarganegaraan warga Timor Timur itu dilakukan melalui prosedur yang khusus ini.

Dalam buku Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara II, Jimly Assiddiqie menyatakan bahwa cara perolehan kewarganegaraan dapat terjadi melalui tiga cara, yaitu (i) citizenship by birth, (ii) citizenship by naturalization, dan (iii) citizenship by registration. Hal ini juga dapat ditemukan dalam RUU KewargaNegaraan Republik Indonesia yang saat ini telah disetujui dalam pembahasan di DPR (Jimly Assiddiqie, 2006;146). Proses perolehan kewarganegaraan melalui proses registrasi ini hendaknya dikemudian dari dapat lebih dikembangkan untuk mengatasi rumitnya prosedur yang harus ditempuh oleh orang asing memiliki kekhususan, misalnya seorang warga negara yang karena beberapa hal harus kehilangan kewarganegaraanya. Dalam kondisi tersebut seharusnya prosedur untuk memperoleh kewarganegaraanya kembali dapat dilakukan dengan prosedur yang lebih mudah bila dibandingkan dengan naturalisasi dari orang asing.

Menurut Pasal 9 UU Kewerganegaraan RIpermohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon jika memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a.telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin;

b.pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima ) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh puluh) tahun tidak berturut-turut;

c.sehat jasmani dan rohani;

d.dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

e.tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih;

f.jika dengan memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia, tidak menjadi berkewarganegaraan ganda;

g.mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap; dan

h.membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara.

Permohonan pewarganegaraan diajukan di Indonesia oleh pemohon secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai cukup kepada Presiden melalui Menteri.

Di samping perolehan kewarganegaraan tersebut, seorang warga negara juga memiliki kemungkinan kehilangan kewarganegaraannya. Terdapat tiga kemungkinan cara kehilangan kewarganegaraan tersebut, yaitu (Jimly Assiddiqie, 2006;151):

1.Renunciation, yaitu tindakan sukarela seseorang untuk menanggalkan salah satu dari dua atau lebih status kewarganegaraan yang diperolehnya dari dua negara atau lebih.

2.Termination, yaitu penghentian status kewarga-Negaraan sebagai tindakan hukum, karena yang bersangkutan memperoleh kewarganegaraan dari negara lain.

3.Deprivation, yaitu suatu penghentian secara paksa, pencabutan, atau pemecatan dari status kewarganegaraan berdasarkan perintah pejabat yang berwenang karena terbukti adanya kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan dalam cara perolehan status kewarganegaraan atau apabila orang yang bersangkutan terbukti tidak setia atau berkhianat kepada negara dan undang-undang dasar.



Menurut ketentuan Pasal 23 UU Kewarganegaraan disebutkan bahwa seorang WNI kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan:

1)memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri;

2)tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu;

3)dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh Presiden atas permohonannya sendiri, yang bersangkutan sudah berusia 18 tahun atau sudah kawin, bertempat tinggal di luarnegeri, dan dengan dinyatakan hilang kewarganegaraan RI tidak menjadi tanpa kewarganegaraan;

4)masuk kedalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden;(tidak berlaku bagi mereka yang mengikuti program pendidikan dinegara lain yang mengharuskan wajib militer);

5)secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai peraturan perundang-undangan hanya dapat dijabat oleh WNI;

6)secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut;

7)tidak diwajibkan tetapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang besifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing;

8)mempunyai paspor atau surat bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negaralain atas namanya; atau

9)bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia selama 5 (lima) tahun terus menerus bukan dalam rangka dinas negara, tanpa alasan yang sah dan dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi WNI sebelum jangka waktu 5 tahun itu berakhir, dan setiap 5 tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernyataan ingin tetap menjadi WNI kepada Perwakilan RI yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal Perwakilan RI tersebut telah memberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan, sepanjang yang bersangkutan tidak menjadi tanpa kewarganegaraan.



Kehilangan kewarganegaraan Indonesia dapat terjadi pula akibat perkawinan dikarenakan bekerjanya hukum kewarganegaraan negara pasangannya tersebut. Bagi mereka, jika ingin tetap berkewarganegaraan Indonesia, dapat mengajukan pernyataan tertulis kepada Pejabat atau Perwakilan RI kecuali berakibat berkewarganegaraan ganda.

Seseorang yang kehilangan kewarganegaraan RI dapat memperoleh kembali kewarganegaraannya melalui proses pewarganegaraan. Khusus bagi mereka yang kehilangan kewarganegaraan RI akibat perkawinan atau karena tinggal lebih dari 5 tahun secara terus menerus di luar negeri, dapat memperoleh status WNI melalui proses memperoleh kembali kewarganegaraan tersendiri.

Lembaga Kepresidenan (Sejarah, Tugas, dan Kewenangannya)

Presiden dan Wakil Presiden Indonesia (secara bersama-sama disebut lembaga kepresidenan Indonesia) memiliki sejarah yang hampir sama tuanya dengan sejarah Indonesia. Dikatakan hampir sama sebab pada saat proklamasi 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia belum memiliki pemerintahan. Barulah sehari kemudian, 18 Agustus 1945, Indonesia memiliki konstitusi yang menjadi dasar untuk mengatur pemerintahan (|UUD 1945)dan lembaga kepresidenan yang memimpin seluruh bangsa. Dari titik inilah perjalanan lembaga kepresidenan yang bersejarah dimulai.

Istana Merdeka, salah satu lambang Lembaga Kepresidenan Indonesia

Sejarah perjalanan lembaga kepresidenan Indonesia memiliki keunikan tersendiri, sebagaimana tiap-tiap bangsa memiliki ciri khas pada sejarah pemimpin mereka masing-masing. Perjalanan sejarah yang dilalui lembaga kepresidenan diwarnai setidaknya tiga atau bahkan empat konstitusi. Selain itu ini boleh dikatakan “hanya” diatur dalam konstitusi. Peraturan di bawah konstitusi hanya mengatur sebagian kecil dan itupun letaknya tersebar dalam berbagai jenis maupun tingkatan peraturan. Ini berbeda dengan lembaga legislatif dan lembaga yudikatif yang memiliki undang-undang mengenai susunan dan kedudukan lembaga itu sendiri. Lain daripada itu masalah tokoh dan periodisasi juga memerlukan pencermatan lebih lanjut.

Oleh sebab lembaga kepresidenan sebagian besar diatur dalam konstitusi, maka pembahasan sejarah lembaga ini akan difokuskan menurut pengaturan dalam konstitusi dan akan dibagi menurut masa berlakunya masing-masing konstitusi. Pembagian inipun tidak sepenuhnya lepas dari kesulitan di setidaknya dua kurun waktu. Pertama, periode antara tahun 1949-1950 ketika ada dua konstitusi yang berlaku secara bersamaan. Kedua, antara 1999-2002 ketika konstitusi mengalami pembongkaran ulang. Selain itu, karena dinamika yang masih terus berlangsung, maka pembahasan artikel hanya akan dibatasi sampai tahun 2008 atau setidak-tidaknya pertengahan 2009.


1. Menurut periode
1. 1. Periode 1945-1950

Periode 18 Agustus 1945 - 15 Agustus 1950 adalah periode berlakunya konstitusi yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, yang kelak kemudian disebut sebagai UUD 1945. Periode ini dibagi lagi menjadi dua masa yaitu, pertama, antara 18 Agustus 1945 - 27 Desember 1949 saat negara Indonesia berdiri sendiri, dan kedua antara 27 Desember 1949 - 15 Agustus 1950 saat negara Indonesia bergabung sebagai negara bagian dari negara federasi Republik Indonesia Serikat.

Menurut UUD 1945, lembaga kepresidenan, yang bersifat personal[1], terdiri atas seorang presiden dan seorang wakil presiden. Lembaga ini dipilih oleh MPR dengan syarat tertentu dan memiliki masa jabatan selama 5 tahun. Sebelum menjalankan tugasnya lembaga ini bersumpah di hadapan MPR atau DPR.

Menurut UUD 1945:

1. Presiden memegang kekuasaan pemerintahan
2. Presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden
3. Wakil presiden menggantikan presiden jika presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya
4. Presiden menetapkan peraturan pemerintah
5. Presiden dibantu oleh menteri
6. Presiden dapat meminta pertimbangan kepada DPA
7. Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Tentara Nasional Indonesia
8. Presiden menyatakan perang dan membuat perdamaian serta perjanjian dengan negara lain atas persetujuan DPR
9. Presiden menyatakan keadaan bahaya
10. Presiden mengangkat dan menerima misi diplomatik
11. Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi
12. Presiden memberi gelar dan tanda kehormatan
13. Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR
14. Presiden berhak memveto RUU dari DPR
15. Presiden berhak mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang dalam keadaan mendesak.


Dr. Ir. Soekarno, Presiden Indonesia 1945-1949 dan 1950-1967; Presiden RIS 1949-1950

Pada 18 Agustus 1945, untuk pertama kalinya, presiden dan wakil presiden dipilih oleh PPKI. Dalam masa peralihan ini kekuasaan presiden sangat besar karena seluruh kekuasaan MPR, DPR, dan DPA, sebelum lembaga itu terbentuk, dijalankan oleh presiden dengan bantuan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Namun tugas berat juga dibebankan kepada presiden untuk mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan UUD 1945.

Hanya beberapa bulan pemerintahan, KNIP yang menjadi pembantu presiden dalam menjalankan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA meminta kekuasaan yang lebih. Hal itu kemudian direspon oleh lembaga kepresidenan dengan memberikan kekuasaan untuk menetapkan haluan negara dan membentuk UU melalui Maklumat Wakil Presiden Nomor X yang dikeluarkan pada 16 Oktober 1945. Kurang dari sebulan, kekuasaan presiden berkurang dengan terbentuknya Kabinet Syahrir I yang tidak lagi bertanggung jawab kepadanya melainkan kepada Badan Pekerja KNIP. Pada tahun-tahun berikutnya ketika keadaan darurat, 29 Juni 1946 - 2 Oktober 1946, dan 27 Juni 1947 - 3 Juli 1947, presiden mengambil alih kekuasaan lagi. Begitu pula antara 29 Januari 1948 - 27 Desember 1949 kabinet kembali bersifat presidensial (bertanggung jawab kepada presiden).

Saat pemerintahan, termasuk di dalamnya lembaga kepresidenan, di Yogyakarta lumpuh dan tidak dapat menjalankan tugasnya saat Agresi Militer Belanda II. Walau ditawan musuh, nampaknya lembaga ini tidak bubar. Sementara pada saat yang sama, atas dasar mandat darurat yang diberikan sesaat sebelum kejatuhan Yogyakarta, suatu Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang didirikan di pedalaman Sumatera (22 Desember 1948 - 13 Juli 1949) mendapat legitimasi yang sah. Kondisi inilah yang menimbulkan pemerintahan dan juga lembaga kepresidenan ganda. Sebab pemerintahan darurat itupun memiliki pimpinan pemerintahan (atau lembaga kepresidenan) dengan sebutan Ketua Pemerintahan Darurat. Hal inilah yang sering menimbulkan kontroversi dan polemik berkepanjangan mengenai status pemerintah darurat dan status ketua pemerintah darurat.

Bagi sebagian pihak, PDRI dan juga Ketua Pemerintahan Darurat adalah penerima tongkat estafet pemerintahan dan kepemimpinan nasional saat pemerintahan di ibukota tertawan musuh. Oleh karena itu kedudukannya tidak bisa diabaikan. Apalagi pada 13 Juli 1949, Ketua Pemerintah Darurat Syafruddin Prawiranegara secara resmi menyerahkan kembali mandat kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta yang pulang dari tawanan musuh. Namun bagi pihak lain, tidak mundurnya presiden dan wakil presiden secara resmi menunjukkan tongkat estafet pemerintahan dan kepemmpinan nasional tetap dipegang oleh Soekarno dan Mohammad Hatta yang tertawan. Apalagi perundingan-perundingan, seperti Perjanjian Roem-Royen, dilakukan dengan pemerintahan dan lembaga kepresidenan tertawan bukan dengan pemerintah darurat.
1. 2. Periode 1949-1950

Negara Federasi Republik Indonesia Serikat 1949-1950

Pada periode 27 Desember 1949 - 15 Agustus 1950, RI bergabung dalam negara federasi Republik Indonesia Serikat dengan kedudukan sebagai negara bagian. Hal ini mengakibatkan berlakunya 2 konstitusi secara bersamaan di wilayah negara bagian RI, yaitu Konstitusi RIS dan UUD 1945. Pada 27 Desember 1949, Presiden RI Soekarno telah menyerahkan secara resmi kekuasaan pemerintahan RI kepada Assaat sebagai Pemangku Jabatan Presiden.

Menurut Konstitusi RIS, lembaga kepresidenan yang bersifat personal terdiri atas seorang presiden. Presiden dipilih oleh Dewan Pemilih (Electoral College) yang terdiri atas utusan negara-negara bagian dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum menjalankan tugasnya, presiden bersumpah dihadapan Dewan Pemilih.

Berbeda dengan UUD 1945, Konstitusi RIS mengatur kedudukan dan kekuasaan, tugas dan kewenangan, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan secara lebih rinci. Selain itu dalam sistematika Konstitusi RIS, hal-hal yang mengatur tentang lembaga kepresidenan tidak terletak dalam satu bab khusus melainkan tersebar di berbagai pasal. Menurut Konstitusi RIS (secara khusus[2]):

1. Presiden berkedudukan sebagai kepala negara
2. Presiden merupakan bagian dari pemerintah [pasal 68 (1) dan (2), 70, 72 (1)];
3. Presiden tidak dapat diganggu-gugat dan segala pertanggung jawaban berada di tangan kabinet [pasal 74 (4), 118 (2), dan 119];
4. Presiden dilarang: (a). rangkap jabatan dengan jabatan apapun baik di dalam ataupun di luar federasi, (b). turut serta atau menjadi penanggung perusahaan yang diadakan negara federal maupun negara bagian, (c). dan mempunyai piutang atas tanggungan negara [pasal 79 (1), (2), dan (3)]. Larangan (b) dan (c) tetap berlaku selama tiga tahun setelah presiden meletakkan jabatannya [pasal 79 (4)];
5. Presiden maupun mantan presiden diadili oleh Mahkamah Agung atas pelanggaran jabatan atau pelanggaran lainnya yang dilakukan dalam masa jabatannya [pasal 148 (1)]
6. Hal keuangan presiden diatur dalam UU federal [pasal 78];
7. Presiden dengan persetujuan Dewan Pemilih membentuk Kabinet Negara [pasal 74 (1) - (4)];
8. Presiden menyaksikan pelantikan kabinet [pasal 77];
9. Presiden menerima pemberitahuan kabinet mengenai urusan penting [pasal 76 (2)];
10. Presiden menyaksikan pelantikan anggota Senat [pasal 83];
11. Presiden mengangkat ketua Senat [pasal 85 (1)] dan menyaksikan pelantikannya [pasal 86];
12. Presiden menyaksikan pelantikan anggota DPR [pasal 104];
13. Presiden mengesahkan pemilihan ketua dan wakil-wakil ketua DPR [pasal 103 (1)];
14. Presiden bertindak secara administratif/protokoler dalam urusan legislatif [pasal 128 (1) dan (2), 133-135; 136 (1) dan (2), 137, dan 138 (3)];
15. Presiden bertindak secara administratif/protokoler dalam urusan konstitutif [pasal 187 (1) dan 189 (3)].
16. Presiden dengan pertimbangan Senat mengangkat Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota-anggota Mahkamah Agung untuk pertama kalinya [pasal 114 (1)] dan memberhentikan mereka atas permintaan sendiri [pasal 114 (4)];
17. Presiden dengan pertimbangan Mahkamah Agung memberi grasi dan amnesti [pasal 160];
18. Presiden dengan pertimbangan Senat mengangkat Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota-anggota Dewan Pengawas Keuangan untuk pertama kalinya [pasal 116 (1)] dan memberhentikan mereka atas permintaan sendiri [pasal 116 (4)];
19. Presiden mengadakan dan mengesahkan perjanjian internasional atas kuasa UU federal [pasal 175];
20. Presiden mengangkat dan menerima misi diplomatik [pasal 178];
21. Presiden memegang kekuasaan militer [pasal 183 (1) dan (3)];
22. Presiden memberikan tanda kehormatan menurut UU federal [pasal 126].

Selain bertindak secara khusus, sebagai bagian dari pemerintahan dalam fungsi administratif/protokoler[3], presiden, menurut konstitusi, antara lain:

1. Menjalankan pemerintahan federal [pasal 117];
2. Mendengarkan pertimbangan dari Senat [pasal 123 (1) dan (4);
3. Memberi keterangan pada Senat [pasal 124];
4. Mengesahkan atau memveto UU yang telah disetujui oleh DPR dan Senat [pasal 138 (2)];
5. Mengeluarkan peraturan darurat (UU Darurat) dalam keadaan mendesak [pasal 139];
6. Mengeluarkan peraturan pemerintah [pasal 141];
7. Memegang urusan hubungan luar negeri [pasal 174, 176, 177];
8. Menyatakan perang dengan persetujuan DPR dan Senat [pasal 183];
9. Menyatakan keadaan bahaya [pasal 184 (1)];
10. Mengusulkan rancangan konstitusi federal kepada konstituante [pasal 187 (1) dan (2)], dan mengumumkan konstitusi tersebut [pasal 189 (2) dan (3)] serta mengumumkan perubahan konstitusi [pasal 191 (1) dan (2)].

Lembaga kepresidenan dalam periode ini hanya berumur sangat pendek. RI dan RIS mencapai kesepakatan pada 19 Mei 1950 untuk kembali ke bentuk negara kesatuan. Pada 15 Agustus 1950, di hadapan sidang DPR dan Senat, diproklamasikan berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia menggantikan negara federasi Republik Indonesia Serikat. Konstitusi RIS diubah menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (yang selanjutnya dikenal sebagai UUDS 1950) berdasarkan UU RIS No. 7 Tahun 1950. Pada hari itu juga, Pemangku Jabatan Presiden RI, Assaat, menyerahkan secara resmi kekuasaan pemerintahan RI kepada Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia.
1. 3. Periode 1950-1959

Drs. Moh Hatta, Wakil Presiden Indonesia 1945-1949 dan 1950-1956

Masa republik ketiga adalah periode diberlakukannya konstitusi sementara yang kelak kemudian disebut dengan UUDS 1950. Konstitusi ini sebenarnya merupakan perubahan konstitusi federal. Dari segi materi, konstitusi negara kesatuan Republik Indonesia ini merupakan perpaduan antara konstitusi federal milik negara federasi Republik Indonesia Serikat dengan konstitusi yang disahkan oleh PPKI milik Republik Indonesia, sebagai hasil persetujuan RIS dan RI tanggal 19 Mei 1950. Secara tepatnya periode ini berlangsung antara 15 Agustus 1950 - 5 Juli 1959.

Menurut konstitusi sementara, lembaga kepresidenan yang bersifat personal terdiri atas seorang presiden dan seorang wakil presiden [Pasal 44, 45, 46 (1), 47, dan 48]. Presiden dan wakil presiden dipilih menurut UU dengan syarat tertentu [pasal 45 (3) dan (5)]. Tidak ada masa jabatan yang jelas bagi lembaga ini, namun dari sifat konstitusi sementara [pasal 134 dan penjelasan konstitusi], jabatan ini dipertahankan hingga ada lembaga baru menurut konstitusi tetap yang disusun oleh Konstituante. Sebelum menjalankan tugasnya presiden dan wakil presiden bersumpah dihadapan DPR [pasal 47].

Sama seperti konstitusi federal, konstitusi sementara mengatur kedudukan dan kekuasaan, tugas dan kewenangan, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan secara lebih rinci. Dalam sistematika konstitusi sementara hal-hal yang mengatur tentang lembaga kepresidenan tidak terletak dalam satu bab khusus melainkan tersebar di berbagai pasal dalam konstitusi. Menurut konstitusi sementara (secara khusus[4]):

1. Presiden dan wakil presiden adalah alat perlengkapan negara [pasal 44];
2. Presiden dan wakil presiden berkedudukan di tempat kedudukan pemerintah [pasal 46 (1)];
3. Presiden berkedudukan sebagai Kepala Negara [pasal 45 (1)];
4. Wakil presiden membantu presiden dalam melaksanakan kewajibannya [pasal 45 (2)];
5. Wakil presiden menggantikan presiden jika presiden tidak mampu melaksanakan kewajibannya [pasal 48];
6. Presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu-gugat dan seluruh pertanggung jawaban berada di tangan kabinet [pasal 83 dan 85];
7. Presiden dan wakil presiden dilarang: (a). rangkap jabatan dengan jabatan apapun baik di dalam ataupun di luar negara, (b). turut serta atau menjadi penanggung perusahaan yang diadakan negara maupun daerah otonom, (c). dan mempunyai piutang atas tanggungan negara [pasal 55 (1), (2), dan (3)]. Larangan (b) dan (c) tetap berlaku selama tiga tahun setelah presiden meletakkan jabatannya [pasal 55 (4)];
8. Presiden dan wakil presiden maupun mantan presiden dan mantan wakil presiden diadili oleh Mahkamah Agung atas pelanggaran jabatan atau pelanggaran lainnya yang dilakukan dalam masa jabatannya [pasal 106 (1)];
9. Hal keuangan presiden dan wakil presiden diatur dengan UU [pasal 54];
10. Presiden membentuk kabinet [pasal 50 dan 51];
11. Presiden menyaksikan pelantikan kabinet [pasal 53];
12. Presiden dan wakil presiden menerima pemberitahuan kabinet mengenai urusan penting [pasal 52 (2)];
13. Presiden menyaksikan pelantikan anggota DPR [pasal 63];
14. Presiden mengesahkan pemilihan Ketua dan Wakil-wakil Ketua DPR [pasal 62 (1)];
15. Presiden bertindak secara administratif/protokoler dalam urusan legislatif [pasal 90 (1), 92, 93, dan 94 (3)];
16. Presiden berhak membubarkan DPR dan memerintahkan pembentukan DPR baru [pasal 84];
17. Presiden menyaksikan pelantikan anggota Konstituante, dan mengesahkan pemilihan Ketua dan Wakil-wakil ketua Konstituante [pasal 136];
18. Presiden bertindak secara administratif/protokoler dalam urusan konstitutif [pasal 140 (2)];
19. Presiden memberhentikan Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota-anggota Mahkamah Agung atas permintaan sendiri [pasal 79 (4)];
20. Presiden memberi grasi, amnesti, dan abolisi dengan pertimbangan Mahkamah Agung [pasal 107];
21. Presiden memberhentikan Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota-anggota Dewan Pengawas Keuangan atas permintaan sendiri [pasal 81 (4)];
22. Presiden memberi tanda kehormatan menurut UU [pasal 87];
23. Presiden mengangkat dan menerima misi diplomatik [pasal 123];
24. Presiden mengadakan dan mengesahkan perjanjian internasional atas kuasa UU [pasal 120];
25. Presiden memegang kekuasaan militer [pasal 127];
26. Presiden menyatakan perang dengan persetujuan DPR [pasal 128];
27. Presiden menyatakan keadaan bahaya [pasal 129 (1)].

Selain bertindak secara khusus, sebagai bagian dari pemerintahan dalam fungsi administratif/protokoler[5], presiden (dan wakil presiden), menurut konstitusi, antara lain:

1. Menjalankan pemerintahan [pasal 82];
2. Mengesahkan atau memveto UU yang telah disetujui oleh DPR [pasal 94 (2) dan 95 (1)];
3. Mengeluarkan peraturan darurat (UU Darurat) dalam keadaan mendesak [pasal 96 (1)];
4. Mengeluarkan peraturan pemerintah [pasal 98 (1)];
5. Memegang urusan umum keuangan [pasal 111 (1)].

Lembaga kepresidenan dalam masa republik ketiga tergolong unik. Tokoh yang memangku jabatan presiden pada periode ini merupakan hasil persetujuan dari RIS dan RI pada 19 Mei 1950 [penjelasan konstitusi]. Sedangkan tokoh wakil presiden untuk pertama kalinya diangkat oleh presiden dari tokoh yang diajukan oleh DPR [pasal 45 (4)]. Dari hal-hal tersebut jelas bahwa lembaga kepresidenan (presiden dan wakil presiden) hanya bersifat sementara seiring pemberlakuan konstitusi sementara dan akan berakhir dengan lembaga kepresidenan menurut konstitusi tetap yang akan dibuat.

Dalam perjalanannya jabatan wakil presiden mengalami kekosongan per 1 Desember 1956 karena wakil presiden mengundurkan diri. Aturan pasal 45 (4) tidak lagi dapat digunakan untuk mengisi lowongan tersebut sedangkan konstitusi tetap maupun UU pemilihan presiden dan wakil presiden belum ada. Pada 1958 presiden sempat berhalangan dan digantikan oleh pejabat presiden. Kekuasaan lembaga kepresidenan ini otomatis berakhir seiring munculnya dekrit presiden 5 Juli 1959 dan digantikan dengan lembaga kepresidenan menurut UUD 1945 yang diberlakukan kembali.